Jangan Gila Dong
election·@andrianhabibi·
0.000 HBDJangan Gila Dong
Penyelenggaraan pemilihan kepala daerah tahun 2018 tinggal menunggu waktu usai. Akan tetapi, ruang diskusi masih mengisi ruang-ruang perdebatan. Salah satu yang menarik hati masyarakat adalah perbincangan kemenangan kotak kosong di Pemilihan Calon Wali Kota dan Wakil Wali Kota Makassar.  Gaduh politik dan opini saling sahut-sahutan. Pemikir menulis pandangannya secara tekstual. Pemain lapangan beraksi di jalanan. Memang politik sudah pecah bak puisi dalam Ada Apa Dengan Cinta, biar ramai dan gaduh. Sewaktu hari H, paska penghitungan suara, ada tulisan lucu yang tersebar di beberapa group Whatsapp dengan judul “Pidato Kemenangan Kotak Kosong”. Hebat bin ajaib, kotak kosong bisa menyampaikan pidato kemenangannya. Atau mungkin, sudah ada yang main ‘claim’ sebagai tim sukses kotak kosong. Entahlah, memang politik di Indonesia kadang lucu. J Kristiadi, Peneliti Senior di The Center for Strategic and International Studies bahkan menyempatkan untuk menulis di Kompas, 12 Juli 2018. Dengan judul “Kocaknya (K)otak Kosong,” analis politik senior ini membuat kita merasa geli sendiri. J Kristiadi mampu menyajikan kumpulan kata yang objektif dan segar untuk menyentil elit politik di Indonesia. Membaca “Kocaknya (K)otak Kosong,” seakan mendapati tulisan ringan dengan isi yang cukup berat. Pada intinya, para pembela Satu Pasangan Calon Kepala Daerah yang dikalahkan oleh kotak kosong, merupakan suara-suara mengakui kekalahan. Mereka –elit dan pendukung- calon tunggal merasa sudah menang sebelum berperang. Istilahnya, siap menang dan tidak sanggup menerima kekalahan. Kita berharap, mereka tidak gila atau mengalami gangguan kejiwaan karena dikalahkan benda abstrak bernama kotak kosong. Namun, kita harus memberikan ruang berekspresi para pembela calon tunggal sebagai pemenuhan konvenan hak-hak sipil dan politik. Apapun suara meraka dan bagaimanapun cara menyuarakannya, itu hak mereka. Bahkan jika mereka harus turun ke jalan, berorasi, atau menolak acara pleno rekapitulasi hasil suara. Biarkan saja, jangan tambah beban mereka yang sudah dikalahkan oleh kotak kosong. Setidaknya, aksi-aksi itu adalah bentuk membayar hutang dan kerja keras secara totalitas kepada pasangan calon. Ingatlah, sebagai bangsa yang berbudaya dan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kita wajib memberi ruang bagi para pembela Pasangan calon tunggal. Kalau perlu, semua media dan televisi menyediakan jadawal tayang selama satu bulan. Agar kita terkesan mengakomodir kepentingan kelompok yang dikalahkan kotak kosong. Jadi penasaran, bagaimana para elit parpol dan pendukung paslon membenarkan kekalahan di Pilkada dengan satu pasangan calon tersebut. # Alternatif Pilihan Mari kita sedikit beralih sedikit ke pihak kotak kosong. Jikalau kita menyaksikan pendapat para pegiat dan pemantau pemilu di Media Center Badan Pengawas Pemilu paska pemungutan suara. Masyarakat akan mendengarkan bahwa kotak kosong masih memiliki pembela. Kalau ingin membuktikan keberadaan pembela kotak kosong, silahkan melihat rekaman vidio di media sosial Perkumpulan Untuk Demokrasi (Perludem) dan Rumah Pemilu. Pada umumnya, kita mengakui bahwa paslon tunggal pasti menang. Sudahlah cuma main sendirian, banyak pendukung, tim sukses lengkap, seandainya tanpa kampanye pun, seharusnya menang telak. Sebaliknya, kotak kosong tidak memiliki parpol pengusung, minus pendukung, dan tanpa tim kampanye. Kalau ada tim yang habis-habisan untuk mendukung kotak kosong. Kita bisa membacanya sebagai kelompok sakit hati yang terpaksa mundur di pilkada. Sialnya, malah kotak kosong beserta pemilihnya yang memenangkan pilkada. Ya nasib. Menurut bacaan pegiat pemilu selama ini, kotak kosong adalah alternatif pilihan yang disediakan untuk menjaga ketersediaan pilihan bagi pemilih. Misalnya, kita merasa dirugikan dengan keberadaan satu pasangan calon. Atau pemilih tidak menyukai cara parpol yang bergerombolan memaksa satu paslon. Maka, kotak kosong lah sebagai lawan paslon. Dari penuturan perludem, Titi Anggraini sang duta demokrasi dunia pernah menceritakan bagaimana pemilih di daerah Pilkada dengan satu pasangan calon tidak mengetahui subtansi memilih kotak kosong. Begitu juga dengan kebanyakan pemilih, mereka hanya berujar ‘calonnya cuma satu kenapa harus memilih’. Ketidaktahuan pemilih ini akibat rendahnya sosialisasi dan pendidikan demokrasi lokal dari semua pihak kepada pemilih. Padahal, paslon dan kotak kosong adalah sama-sama peserta pilkada. Satu ada wujudnya, satu lagi hantu kotak kosong. Dalam kata lain, baik paslon maupun kotak kosong, adalah peserta yang memiliki hak yang sama untuk di pilih. Maka, hak di pilih tersebut menyamakan status paslon dengan kotak kosong. Perbedaan kemenangannya, bila paslon mendapatkan suara mayoritas pemilih, langsung lah persiapan pelantikan. Kalau kotak kosong yang menang? Maka pilkada akan diundur. Jadi, kemenangan kotak kosong hanya untuk menunda atau mengundur pilkada. Selama itu, Pejabat kepala daerah memimpin pemerintahan. Karena kotak kosong tidak mungkin menduduki kursi kepala daerah atau menandatangani berkas-berkas yang menumpuk. Jangan gila dong. Apabila pilkada bisa diundur, kita berharap muncul beberapa paslon di pilkada terdekat. Mudah-mudahan elit parpol mampu mendengarkan suara publik dalam mencalonkan peserta pilkada. Makassar adalah bukti bahwa kotak kosong mampu merubah wajah politik lokal dan mengukur kewarasan elit politik. Pada intinya, kotak kosong bukan sembarangan kotak. Di Indonesia, hantu (kotak kosong) pun bisa menjadi subjek politik yang merupakan peserta pemilihan. Meskipun dia (kotak kosong) lemah dan tidak diuntungkan selama masa kampanye. Kita perlu meditasi untuk merenungi pelajaran Pilwako Makassar. Jangan pernah meremehkan yang terlihat lemah. Karena si lemah bisa saja menang. **Jangan gila dong, kalah sama kotak kosong, jangan gila dong** 